Syahida.com – Seorang pemuda yang baru lulus SMK menghadap saya. Ia menyampaikan keinginannya utk dita’arufkan dengan seorang hafidzoh yang membina generasi Qurani di Mafaza,
“Yakin sudah siap menikah?” tanya saya pada pemuda yang bernama lengkap, Muhammad Abdan Syakuro ini.
“Iya umi”, jawabnya mantap.
“Kenapa memutuskan menikah, padahal umi dengar, antum mau masuk kuliah tahun ini? ” saya menyelidik.
“Ana ingin menjaga kesucian umi, di kampus nanti, akan banyak godaan. Ana khawatir tidak bisa menjaga pandangan mata.” Pemuda yang biasa dipanggil Abdan ini menjawab dengan lancar.
“Jadi itu ya tujuan antum menikah?”
Abdan: “Selain itu, Ana ingin membangun peradaban dengan membina keluarga yang qur’ani.”
Saya: “Bagaimana caranya?”
“Ana akan menikahi seorang hafidzoh yang cerdas dan da’iyah.” jawabnya singkat
Saya tersenyum, cara befikirnya simple dan praktis. Namun mencerminkan misi yang jelas dan visi yang jauh kedepan. Lalu saya tanya lagi:
“Apakah antum sudah punya pilihan?”
“Ustadzah Tia, Umi” jawabnya yakin.
Rupanya ia berselera tinggi. Nama Akhwat yang disebutnya adalah calon pimpinan Mafaza 4. Seorang akhwat yang cerdas, selama kuliah di IPB mendapatkan beasiswa dari semester pertama hingga selesai jadi sarjana. Dan kemampuan menghafal qur’annya 8 juz per bulan. Namun Akhwat yang dipilihnya ini lebih senior 3 tahun darinya.
Saya: “Antum lebih muda dari beliau”
“Nggak apa2 ummi. Ana suka Akhwat yang dewasa dan lemah lembut.”
“Hehehe… Sepertinya antum sdh mengenalnya ya? ” saya mencandainya.
“Saat ana presentasi, beliau yang paling banyak bertanya. Dan saat saat beliau memimpin pertemuan dengan para orangtua santri, ana lihat beliau dewasa dan lemah lembut.” rupanya pemuda yang akan mendapatkan beasiswa penuh di Universitas Pancasila ini telah mendapatkan kesan.
“Abdan, beliau sudah sarjana, berprestasi, calon pimpinan Mafaza dan lebih tua darimu. Ini potensi ketidakseimbangan, bagaimana cara antum mengelola konflik dan memimpin beliau? ” pertanyaan saya mulai serius.
Abdan: “Pertama saya akan penuhi semua kewajiban saya sebagai seorang suami. Dan beliau seorang hafidzoh yang faham agama dengan baik. Tentu tahu posisinya dalam rumah tangga. Dan tidak tidak akan sulit untuk diajak memecahkan masalah dengan pendekatan agama.”
Saya: “Abdan, apa yang sudah antum siapkan untuk pernikahan ini? ”
Abdan: “Saya menyiapkan ilmu dan ini masih terus berproses. Gaji saya di Al Hikmah Insya Alloh cukup. Orangtua dan keluarga mendukung saya dalam rencana pernikahan ini.”
Semua jawaban singkat itu cukup memuaskan saya. Namun yang lebih meyakinkan saya adalah karena saya memperhatikan pemuda yang merancang system IT di Al Hikmah dan Mafaza ini. Meski masih belia, ia memang sudah dewasa dan matang.
Maka proses setelah saya tanyai itu begitu cepatnya. Kami segera ta’aruf kan mereka. Lihatlah, mereka sama-sama menunduk dalam sepanjang ta’aruf. Padahal saat begini, di bolehkan untuk saling melihat.
Yang Akhwat mengajukan beberapa pertanyaan seputar misi dan visi serta manajemen keuangan keluarga, yang di jawab dengan meyakinkan oleh yang Ikhwan. Lima hari setelah ta’aruf, Abdan mengkhitbah Akhwat ini. Dan dua minggu setelah itu mereka menikah.
Lihatlah, hanya 19 hari. Proses menikah itu begitu mudah. Yang susah dan tampak berat adalah tradisi dan gaya hidup. Jika saja para orangtua bertanggung jawab terhadap aspek kesucian dan moralitas anak-anak, tentu tidak akan berfikir untuk mempersulit pernikahan anak-anak dengan serangkaian seremoni yang bertele-tele dan hitung-hitungan biaya resepsi yang besar. [Syahida.com]
Sumber: Astri Hamidah