Syahida.com – Akan kita jelaskan di sini sampai batas manakah syariat memperbolehkan wanita untuk bekerja.
Di sini akan dijelaskan dengan ringkas dan jelas masalah batas-batas bolehnya wanita bekerja, agar tidak kabur antara yang haq dan yang batil dalam masalah yang sensitif ini.
Tugas wanita yang pertama dan yang paling besar yang tidak ada pertentangan padanya adalah menarbiyah generasi yang telah dipersiapkan oleh Allah, baik secara fisik maupun jiwa. Wanita tidak boleh melupakan risalah yang mulia ini disebabkan karena pengaruh materi atau modernisasi apa pun adanya. Sebab, tidak ada seorang pun yang mampu melakukan tugas agung ini yang sangat menentukan masa depan umat kecuali wanita. Dengan demikian kekayaan umat akan semakin terpelihara, itulah kekayaan sumber daya manusia. Semoga Allah merahmati seorang penyair yang bernama Hafidz Ibrahim yang mengatakan,
Seorang ibu bagaikan sekolah
Yang apabila engkau persiapkan (dengan baik)
Maka berarti engkau telah mempersiapkan generasi
Yang harum namanya.
Ini bukan berarti wanita diharamkan bekerja di luar rumah, karena tidak ada wewenang bagi seseorang mengharamkan tanpa ada keterangan syara’ yang benar-benar jelas maknanya. Segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan.
Atas dasar inilah maka kita katakan bahwa sesungguhnya profesi wanita pada dasarnya diperbolehkan, bahkan bisa jadi diperlukan, terutama bagi wanita janda, dicerai atau belum dikaruniai suami sementara dia tidak mempunyai pemasukan dan tidak pula ada yang menanggungnya, sedang dia mampu bekerja untuk mencukupi keperluannya sehingga tidak meminta-minta.
Kadang-kadang justru keluargalah yang membutuhkannya bekerja, seakan-akan ia membantu suaminya, atau mendidik anak-anak dan saudara-saudaranya yang masih kecil, atau membantu bapaknya yang sudah tua, seperti dalam kisah dua putri Nabi Syu’aib yang disebutkan oleh Al Quran di dalam Surat Al-Qashash, yang keduanya merawat kambing ayahnya.
“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. (QS. Al Qashash: 23)
Kadang-kadang masyarakat itu sendiri yang memerlukan kerja wanita, seperti tenaga dokter, perawat, guru untuk anak-anak wanita dan setiap aktivitas yang khusus wanita. Karena itu, utamanya seorang wanita bekerja sama dengan sesama wanita, bukan dengan kaum pria. Meskipun terkadang bisa dimaklumi jika harus memerlukan kaum pria karena kebutuhan, tetapi itu sekedarnya, bukan sebagai suatu kaidah yang tetap. Sebagaimana juga apabila masyarakat membutuhkan tangan-tangan terampil untuk pengembangan.
Apabila kita perbolehkan wanita itu bekerja maka harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
1.Hendaknya jenis pekerjaannya memang tidak dilarang dan tidak mengarah pada perbuatan haram. Misalnya bekerja sebagai pembantu pada seseorang yang belum menikah, sekretaris khusus seorang direktur kemudian berduaan, penari yang membangkitkan syahwat dan keinginan nafsu seksual, bekerja di bar-bar yang menghidangkan khamer yang dilaknat oleh Rasulullah SAW, atau menjadi pramugari di pesawat yang mengharuskannya berpakaian seragam yang tak syar’i dan menghidangkan sesuatu yang tidak diperbolehkan syara’ untuk para penumpang dan terbuka peluang bahaya disebabkan bepergian yang jauh tanpa muhrim, yang mengharuskannya bermalam sendirian di tempat asing yang sebagian tidak terjamin, atau pekerjaan lainnya yang telah diharamkan oleh Islam terhadap kaum wanita, atau terhadap laki-laki dan wanita.
2. Hendaknya wanita Muslimah tetap beradab Islami bila ia keluar dari rumah, baik dalam berpakaian, berjalan, berbicara dan berpenampilan. Allah SWT berfirman,
“…………dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya…. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan……” (QS. An Nur: 31)
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik,” (QS. Al Ahzab: 32)
3. Hendaknya perkerjaannya itu tidak mengorbankan kewajiban-kewajiban lainnya yang tidak boleh ditelantarkan. Seperti kewajibannya terhadap suami dan anak-anak yang merupakan kewajiban pertama dan tugasnya yang asasi.
Masyarakat Islam dituntut untuk mengatur segala persoalan hidup dan mempersiapkan sarananya sehingga kaum wanita bisa bekerja apabila hal itu membawa kemaslahatan bagi dirinya, keluarganya, dan masyarakatnya, tanpa menghilangkan perasaan malu atau bertentangan dengan kewajibannya terhadap Tuhan, diri dan rumahnya. Hendaknya lingkungan secara umum juga mendukung untuk melaksanakan kewajiban dan memperoleh haknya. Bisa saja dengan cara wanita diberi separuh pekerjaan dengan separuh gaji, tiga hari dalam satu minggu umpamanya. Sebagaimana sepatutnya masyarakat memberikan hak libur kepada wanita secara cukup pada awal pernikahan, pada saat melahirkan dan menyusui.
Di antara yang harus ditertibkan adalah membangun sekolah-sekolah, fakultas-fakultas dan perguruan tinggi khusus untuk wanita yang dengan itu mereka bisa melakukan latihan olah raga dan permainan yang sesuai dengan mereka. Hendaknya mereka diberi kebebasan untuk beraktivitas dan melakukan berbagai kegiatan.
Di antaranya juga membangun ruang-ruang khusus untuk para pekerja perempuan di tempat kerja, yang jauh dari kemungkinan orang melakukan ‘mojok’ yang melahirkan fitnah. Allahlah yang berkata benar dan Dialah yang memberi petunjuk. [Syahida.com / ANW]
==================
(Sumber: Kitab Malamih Al-Mujtama’ Al-Muslim, karya DR. yusuf Qardhawi, penerjemah: Abdus Salam Masykur, Nurhadi. Penerbit:Era Adicitra Intermedia)